Seorang teman pernah bercerita kepada saya bahwa katanya Kurikulum itu berasal dari kata dasar Curricula dari bhs Prancis yg artinya “PENGALAMAN” jadi tepatnya pengalaman hidup yang kelak akan dialami anak yang di susun dalam bentuk pembelajaran. Jadi sebenarnya tujuan awal kurikulum itu sangat baik sekali, untuk mempersiapkan anak di kehidupan nyata dimasa depan. Begitu katanya.
Lalu saya menyanggahnya, “Ah yang bener? masa iya sih? kalo memang begitu mengapa setelah saya dewasa dan memasuki usia paruh baya saya malah banyak merasakan berdasarkan pengalaman hidup saya setelah meninggalkan bangku sekolah, kok sepertinya banyak sekali mata pelajaran yang saya tidak pernah gunakan atau butuhkan sebagai pengalaman hidup saya, sebut saja untuk apa saya dulu belajar algoritma (sinus, kosinus, tangen) sampai kepala “anget”, untuk apa saya dulu belajar integral parsial sampai otak “senut-senut”, dan untuk apa saya dulu harus menghafal menteri kabinet, membuat peta buta? dan saya dengar malah anak murid zaman anakku sekarang malah diminta untuk menghafal tugas mentri, camat, lurah dsb, untuk apa? kapan persisnya kita pernah gunakan ini semua. Untuk apa anak-anak sekolah dasar sudah dibebani pelajaran yg tidak digunakannya sebagai pengalaman hidupnya nanti?
Semakin panas pembicaran dan sayapun terus saja bicara ”bahkan justru yg menjadi pengalaman hidup saya banyak yang tidak pernah saya pelajari semasa disekolah dulu. Sebut saja, efek makanan beracun bagi tubuh seperti vetsin yg merusak otak, zat pewarna yg merusak hati, lemak jenuh penyebab kolesterol, kemudian cara berteman yang santun dan sehat bagi anak yang mulai menyukai lawan jenis, cara memilih pasangan hidup yang paling cocok, menjadi calon orang tua yang baik, bahaya merokok bagi kesehatan paru-paru dan keuangan keluarga pas-pasan, membangun persahabatan sejati, bagaimana mengawali sebuah usaha, berdagang, membangun hubungan baik dengan orang lain, kreatifitas, mengambil keputusan, merancang masa depan, bercita-cita dan menggapai impian, mengatasi konflik hidup, membangun percaya diri, berbicara di depan umum dan banyak lagi yang menjadi kunci dan amat sangat saya butuhkan bagi hidup justru belum pernah di pelajari. Wow ternyata banyak sekali yg sungguh saya butuhkan bagi hidup justru dulu sama sekali tidak pernah di singgung-singgung di sekolah.
Kalo begitu dimana letak kesalahannya ya? Apa jangan-jangan para pembuat kurikulum sendiri sebenarnya tidak tahu arti dasar dari kata Kurikumlum itu sendiri? atau apa ya?
Saya jadi bertanya-tanya apakah untuk anak saya kedepan akan saya biarkan mengikuti kurikulum yang dulu pernah di pelajari ayahnya namun banyak sekali yang mubazir dan bikin stress, atau saya coba rancangkan sendiri kurikulum yg sungguh-sungguh dibutuhkannya kelak jika ia sudah mulai beranjak remaja dan dewasa. Teman saya itu hanya bisa menarik nafas dan mengelus dada mendengarkan sanggahan saya tanpa bisa berkomentar.
Untung saja sebagai seorang aktivis pendidikan, kami punya banyak teman untuk diajak bertukarpikiran mulai dalam dan luar negeri dan sepertinya bersama teman-teman kami memilih untuk membuatkan kurikulum sendiri bagi anak-anak kami. Kurikulum yang tidak membebani anak, kurikulum yang tidak membuatnya stress, kurikulum yg sesuai minat dan bakatnya, kurikulum yang sungguh-sungguh dia gunakan dan butuhkan kelak saat dewasa. Dan bukan kurikulum yang mubazir yang pernah di pelajari oleh ayahnya dulu hingga sering mengalami stress dan maag kronis hingga saat ini akibat tidak mengetahui dampak makanan, kebiasaan hidup yg merusak tubuh dan kesehatan.
Terimakasih para sahabatku, teman diskusiku, baik yang masih ada ataupun sudah tiada, semoga Tuhan selalu membimbingku untuk masa depan anakku dan jika memungkin juga bagi masa depan bangsaku yang lebih baik lagi.
Ayah Edy
Praktisi Multiple Intellegence dan Holistiv Learning