Jangan tanya aku soal PR dan Ulangan saja

Saat anak-anak kita lelah sepulang sekolah, dengan beban materi pelajaran yang luar biasa berat, dengan setumpuk PR dari guru untuk hampir semua mata pelajaran, dengan standarisasi nilai yang harus mereka kejar agar tidak terancam remedial, kita sebagai orang tua masih saja tampil dengan gaya komunikasi yang membosankan. Si Ibu bertanya “Besok ada PR apa?. Ayo cepat makannya, habis itu langsung kerjakan PRnya ya”. Sementara Si Ayah yang jarang sekali bercengkrama bertanya “Kapan kamu ujian dek?…Belajar yang rajin ya nak. Jangan sampai tidak naik kelas”

Pernahkan kita berpikir, betapa membosankannya kita sebagai orang tua dimata anak-anak kita. Bagaimana mungkin mereka bisa akrab dan berkomunikasi terbuka, jika melihat kita saja mereka sudah bosan karena topik obrolan kita cuma itu-itu terus.

Sang anak yang mulai tumbuh remaja dan mulai punya dunia lain. Mulai punya beban hidup, mulai merasakan tekanan emosi dari lingkungannya, mulai merasakan tantangan-tangan hidup, mulai melihat dunia orang dewasa. Mereka ingin bertanya, ingin bercerita, ingin curhat. Tapi sama siapa? Orang tua bukan tempat yang enak untuk bercerita.

Anak-anak remaja perempuan kitapun akhirnya menemukan teman curhatnya. Teman cowok sekelas yg mau mendengarkan curhat dan keluh kesahnya. Ia pun merasa menemukan sandaran emosi yang mengerti dan memahaminya. Dan akhirnya teman cowok itulah yang diam-diam sekarang jadi pacarnya. Sampai akhirnya kita dibuat kaget oleh apa yang mereka lakukan berdua.

Anak remaja laki-laki kitapun mulai menemukan geng teman-teman senasibnya. Teman yang sama-sama tidak pernah didengarkan di rumah dan dianggap sebagai orang dewasa. Mereka pun bersama-sama mencari cara yang membuat mereka merasa sebagai orang dewasa. Menunjukkan eksistensi diri dengan cara-cara yang membuat kita geleng-geleng kepala.

Ah,…Ini cerita kuno sejak dulu dan mungkin seterusnya orang tua akan seperti itu.

Kecuali segelintir saja orangtua-orang tua yang setiap hari selalu rendah hati mendengar cerita anak-anaknya. Bukan cuma cerita PR dan nilai ulangan. Tapi mendengarkan imajinasi mereka, pengalaman-pengalaman mereka, keresahan mereka dan apa saja perasaan yang mereka rasakan. Para orangtua yang memahami kalau anak-anak mereka adalah manusia-manusia yang punya perasaan dan emosi. Dan tidak selalu ingin ditanya soal PR dan nilai ulangan saja.

Yudha D.H

GreenWhite Academy

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *