Sebagai ‘tanda tanya’ atau ‘titik’

Perhatikanlah seorang bayi. Ia terlahir dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu. Ia ingin meraih dan menyentuh semua benda. Kadang memukul-mukulnya, melempar, memasukan ke dalam air, memasukan ke mulutnya, membongkar, melepas bagian-bagiannya, menggosok-gosok dengan benda lain, memencet-mencet apapun, memutar, merobek, memasukan sesuatu ke dalam lubang, mengorek-ngorek, menarik, menjatuhkan, dan banyak lagi. Semakin rumit dan mekanistik semakin penasaran ia. Coba berikan anak mainan mobil yang dibuat seperti batu padat. Sebentar saja ia akan bosan dan buang, karena tak ada yang bisa dieksplorasi. Tapi berikanlah sesuatu yang bisa ia putar-putar, bisa ia buka tutup, ada tombol-tombol, ada mekanisme yang bisa diutak-atik. Ia makin penasaran dan berlama-lama mengeksplorasi. Ia begitu terobsesi mencari tahu bagaimana dunia ini bekerja.

Ketika sudah mulai bicara, ia akan menanyakan segala hal. Bertanya nama-nama benda hingga berulang-ulang, menanyakan kenapa begini-kenapa begitu, mengomentari apapun yang ia lihat, bertanya lagi terus menerus, menghubung-hubungkan, menanyakan alasan kenapa dilarang dan tidak dibolehkan, kenapa harus begini dan tidak begitu. 

Begitulah, anak-anak di seluruh dunia terlahir dengan ‘software’ rasa ingin tahu yang diinstal oleh Tuhan di otak mereka. Tuhan membekali insting belajar alami ini untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan, bukan hanya untuk bekal ia bertahan hidup tapi menjadikan ia manusia yang berpikir, memecahkan masalah dan berkarya. Rasa ingin tahu dan daya kritis adalah pondasi untuk manusia memiliki kemampuan memecahkan masalah dan berpikir kreatif.

Insting ini sebenarnya akan berkembang seiring bertambahnya usia anak, sampai ada orang-orang yang merasa terganggu dan mulai mengatur-aturnya dengan berlebihan karena merasa lebih tahu. Orangtua yang mulai terganggu dengan insting rasa ingin tahu ini akan melabel anak sebagai ‘anak cerewet’ dan ‘kebanyakan nanya’. Tidak sedikit orang tua yang menjadikan sifat kepo anak ini sebagai  bahan tertawaan dan ejekan. Ada lagi orang tua yang langsung menasihati kalau terlalu kepo itu tidak sopan dan akhirnya melarang anak bertanya ini-itu.

Ketika mulai masuk sekolah, rasa ingin tahu anak mulai diatur-atur. Anak hanya boleh tahu hal-hal yang sudah diatur dan terjadwal dalam mata pelajaran. Saat ada anak yang ingin tahu tentang topik tentang ‘ikan’, bapak-ibu guru langsung mengalihkan pertanyaan anak dan mengatakan bahwa saat ini  kita sedang belajar topik ‘tumbuhan’ sambil menghibur kalau topik ‘ikan’ akan ia dapat di kelas yang lebih tinggi. Anak tak punya lagi ruang berpikir yang merdeka. Ia hanya boleh berpikir hal-hal yang sudah ditentukan. Dibuatlah standar pengetahuan inti dilengkapi dengan ujiannya.

Seiring waktu insting ini mulai redup karena anak merasa ada yang aneh dengan dirinya jika ia tidak mengikuti norma sosial bentukan lingkungannya. Rasa penasaran ini akhirnyapun hilang lenyap. Tidak ada lagi rasa ingin tahu. Tak ada lagi daya kritis. Tak ada lagi jiwa eksplorasi. Hanya mengikuti alur yang ada. Setelah lulus sekolah ia benar-benar tidak ingin tahu apa-apa lagi selain yang sudah ia pelajari di sekolah. Ia berhenti bertanya. Ia berhenti menjadi pembelajar.

Sangat menyedihkan, anak yang terlahir sebagai membawa begitu banyak ‘tanda tanya’, lulus sekolah hanya sebagai ‘titik’.

Yudha Dwi H.

Green White Academy

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *